Sabtu, 05 Februari 2011

ta’ terasa

Hangat sinar mentari yang menuju ufuk barat. Desahan angin yang membuat dedaunan di sekolahku, SMP Tunas Satria saling bergesekan, mengiringi kegundahan hatiku berjalan gontai tanpa tujuan. sinar keemasan sang mentari tampak seolah menghibur hatiku. Namun suasana hatiku tak tergugah oleh apapun.


Aku menyusuri lapangan basket yang di setiap pinggirnya di tanami pohon mahoni, tempat yang selalu ramai dengan anak-anak yang melihat pertandingan basket atau sekedar latihan saja.


Beberapa jam yang lalu, teman-temanku satu persatu pulang, terlihat kegalauan mereka dari langkah yang berat untuk meninggalkan semua kenangannya disini, sesekali mereka menoleh kebelakang.


Tepat didepan sekolahku berlantai empat, aku menghentikan kakiku untuk melangkah dan mematung seraya mengingat semuanya tentang diriku dan sekolah ini. Tempat aku beserta semua temanku bersusah payah menuntut ilmu dua tahun yang lalu. Sejuta kenangan tesimpan disini. Hari ini sebenarnya hari yang menyenangkan awalnya namun setelah semuanya berakhir


kesedihan pasti datang menyapa., Reuni, acara yang setiap 4 tahun sekali yang diadakan sekolah SMPku dan terakhir diadakan waktu aku kelas dua SMP disini, untuk saling bersilaturrahmi, berjabat tangan, bertukar kabar atau saling berbagi cerita. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semuanya untuk menumpahkan segala rindu tersimpan selama tak bertemu.


Aku memutuskan untuk duduk diantara pohon bugenfil yang di tanam dipot depan sekolahku. Bukan sekedar pot biasa. Disinilah aku pertama kali duduk. Dan mulai dari sini juga cerita-cerita tentang masa laluku mengalir.


Tisar Bellado, nama yang diberikan kedua orang tuaku tujuh belas tahun yang lalu. Aku meneropong diriku pada masa lalu.


Tepat ditempat ini aku pertama kali menunggu sekolah ramai akan peserta tes untuk masuk sekolah yang banyak orang tua ingin menyekolahkan anaknya disini. Aku adalah salah satu pesertanya, hanya saja aku tidak mau menjadi yang pertama kali masuk SMP ini. Tepat jam tujuh bel berbunyi, pada saat itu juga aku telah masuk dan tengah mempersiapkan pensil 2b beserta teman-temannya. Tes terasa sangat mudah bagiku entah kenapa, mungkin karena aku tak ada niat sedikitpun untuk masuk sekolah yang terkenal dengan kedisiplinannya ini.


Alangkah kagetnya setelah aku melihat papan pengumuman, tepat pada urutan ke-sebelas namaku tertera, Tisar Bellado. Aku tidak habis pikir mengapa aku yang mengerjakan seenaknya harus diterima, apakah 575 murid yang mendaftar lebih asal-asalan dari aku?? Apakah aku adalah peserta terpandai kesebelas dari 200 siswa yang diterima? Ooh… malangnya nasibku!


Hari-hari pertamaku sangat berat, apalagi harus menghadapi MOS, masa orientasi siswa, Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Setelah anak itu mengajakku bolos MOS dan nongkrong dibelakang kelas. Kami mulai bertukar cerita tentang paksaan orang tua kami untuk bersekolah di sini. Dia juga bercerita bahwa sebenarnya waktu tes dia menjawab dengan asal semua jawabannya, tapi entah karena scannernya rusak atau memang sogokan orang tuanya, dia dapat menduduki peringkat tujuh. Aku jadi mengerti ternyata bukan hanya aku saja yang merasakan paksaan itu.


Sekolah kini jadi lebih menyenangkan karena ternyata fahmi nama anak itu, selain sama-sama terpaksa masuk SMP ini dia juga tidak perduli dengan peraturan-peraturan yang diterapkan. Hampir setiap hari kami terlambat dan setiap hari juga masuk ruang BP untuk mendapat sedikit ceramah serta pencerahan dari guru BP, Pak Jamil.


Di mata guru, kami adalah trouble makers sekolah. Benar saja terlihat begitu, kami memakai baju seragam junkies bercelana komprang bak Reaper tahun 70-an. Pin tercentel di kerah baju serta celana kami. Kami juga biang kerok tawuran antar sekolah saat sekolah kami kalah dalam suatu pertandingan sepak bola. Tapi tak diayalkan lagi, bahwa kami salah satu siswa genius di sekolah ini
Di luar sekolah keakraban kami tetap terjaga, Aku setiap minggu mengajak Fahmi berenang bersama, Fahmi pun di setiap sabtu sore selalu mengajak aku untuk fitness bersamanya.


Aku dan Fahmi selalu bersama, Terlambat bersama, melompati pagar untuk pulang sebelum jam pulang sekolah juga bersama. Kami termasuk cowok good looking di sekolah, aku berpostur lebih tinggi sedikit daripada Fahmi, badan kami sama berisi dan berotot (mungkin karena kami rajin fitnes) tapi bedanya aku selalu tidak ambil pusing sedangkan Fahmi, selalu dipusingkan oleh makhluk satu ini, wanita. Fahmi terlihat akrab dengan semua wanita. Mungkin ini yang membuat dirinya disebut play boy.


Entah karena gurauan fahmi yang mengejekku dan perasaanku yang merasa seolah aku tidak laku, aku mulai meninggalkan kebiasaanku. Aku bermurah senyum pada semua wanita. Aku pun mulai jadian dengan Salma, dia adalah pacar pertamaku, dia juga salah satu cover girl majalah sekolahku, tak begitu sulit untuk mendapatkannya, hanya butuh 6 hari PDKT (pendekatan) untuk akhirnya aku mengajaknya jadian. Bagi banyak anak lain aku sangat beruntung bisa menggaet Salma, dia cantik dan mempesona sempurna, itu yang sering dikatakan padaku, tapi di mataku Salma biasa, seperti wanita pada umumnya. perfect is nothing in the world .


Hari-hariku lambat terasa sebab setiap waktu Salma sms aku, entah hanya untuk mengucapkan selamat pagi sayang atau hanya mengingatkanku untuk makan. Bukannya aku tidak mau diperhatikan, hanya saja aku merasa terusik apalagi sewaktu sedang nongkrong dengan teman-teman, tapi kata fahmi itu menandakan Salma perhatian dan sayang pada aku.


Di sekolah ini aku memilih memasuki ekstrakulikuler voli, aku suka dengan cabang olah raga ini. Disetiap minggu pagi ekskul voli melakukan latihan bersama dengan sekolah lain atau sekedar latihan sendiri. Jadwal latihan diperbanyak dan ketat oleh pak rahmad, guru ekskul voli serta guru olah raga sekolah kami, sebab dalam bulan-bulan ini banyak diadakan lomba baik tingkat kecamatan atau kabupaten.
Minggu besok adalah hari aku harus berjuang keras, hari pembukaan lomba voli antar SMP sekabupaten. Aku yang masih kelas 7 adalah kapten voli SMP Tunas Satria. Kebetulan sekolahku mendapat urutan pertama untuk pertandingan pembukaan melawan SMP Karya Bangsa.


Sore sebelumnya saat aku pulang sekolah Salma mengajakku bertemu dibelakang kelas, tempat favorit anak-anak bertemu dengan pacarnya atau sekedar nongkrong. Dia memberiku dukungan dan memberitahuku bahwa dia besok tidak bisa menonton pertandingan voli sebab dia harus menjenguk neneknya di Bogor yang sedang sakit. Aku memakluminya sebab ada atau tidak ada dia tak berpengaruh besar padaku. Entah mengapa, meski aku telah berkata pada diriku sendiri bahwa dia adalah semangatku tapi begitulah hasilnya. Tetap saja ada atau tidak adanya dia tidak berpengaruh besar pada semangatku. Mungkin jadian dengannya merupakan obsesi atau hanya sekedar status yang aku harapkan. disatu sisi aku meminta maaf disisi lain aku tertawa bahagia sebab hatiku belum tertambat oleh suatu apapun..


Hari yang ditunggu-tunggu pun datang, aku beserta teman tim voliku harus sekuat tenaga melawan mantan runner up tahun lalu itu, SMP Karya Bangsa. Meskipun di awal set pertama kami sempat tertinggal beberapa angka tapi di akhir set pertama kami dapat menyamakan score, baru di set kedua tim voli SMPku dapat unggul 2 angka dari SMP Karya Bangsa. Sekolah kami dapat memenangkan pertandingan pertama.
Di kopsis (koperasi siswa) kami merayakannya setelah lelah karena pertandingan kemarin. aku merasa bangga dapat memimpin tim voli sekolah favorit ini.
Pertandingan demi pertandingan kami jalani satu demi satu. Latihan fisik keras pun satu per satu kami telan. Beban mental dan beban fisik, kami satukan dengan kebulatan tekad kami semua. Hingga akhirnya suatu kesombongan serta kecerobohan muncul karena kami merasa yang terhebat, tim tersolid.


Suatu kekalahan harus kami rasakan di partai puncak. Diset pertama tim voli Tunas Satria harus menerima kekalahan telak. Pil racun kesombongan berkoalisi dengan kecerobohan harus kami telan serta kami cerna dengan segenap akal sehat yang mulai sadar dan mengerti bahwa kami semua telah diselimuti suatu kabut yang bernama keangkuhan.


Beruntung kami memiliki seorang pelatih voli yang dapat mengangkat semua mental anggota tim voli sekolah kami. Beliau mengingatkan bahwa di atas langit ada langit. Beliau juga memberi kami suatu semangat dan dorongan bahwa kekalahan adalah suatu kemenangan yang tertunda. Bahkan disuatu tempat tergelap sekalipun pasti disudut kegelapan itu terpancar secercah cahaya yang kita kenal dengan ccahaya harapan.


Sebulan setelah akhirnya tim voli SMPku memenangkan kejuaraan sekabupaten, ini adalah sejarah pertama SMP ku yang belum pernah menjuarai cabang olah raga bidang voli. Aku tidak percaya bahwa kami menorehkan tinta emas dalam sejarah SMP ini.


Setiap sabtu, sekolahku mengadakan upacara bendera, dan aku selalu semangat untuk upacara tetapi hari ini berbeda. Hari ini aku sama sekali tidak ingin untuk memanggang diri di bawah terik sang surya. Aku ingin tidur-tiduran di kelas. Ketika aku mengutarakan niatku pada Fahmi, dia mempunyai rencana, aku disuruhnya berpura-pura untuk pingsan dan dia yang di belakangku akan menopangku disaat aku mulai menjatuhkan diri ke belakang. Benar saja selain aku bisa tidur-tiduran di ruang UKS. Fahmi juga dapat merasakan sejuknya AC ruangan itu.


Sewaktu pulang sekolah aku melihat Salma berbicara dengan seseorang di belakang mushola sekolah. Aku mengenali orang yang berbicara dengan salma adalah Aldo, kakak kelasku sekaligus kapten tim basket sekolah, sebenarnya aku bisa langsung menarik tangan Salma dan menyuruhnya menjelaskan semuanya padaku tapi aku tak melakukan itu.
Seminggu aku tidak membalas sms-nya sekalipun, aku merasa dia tidak layak untukku atau dia terlalu baik untuk suatu obsesi atau apapun kamu untuk menyebutnya. Fahmi menyarankan agar aku menemuinya dan berbicara secara terbuka tentang semuanya. Namun setiap Fahmi mengingatkan masalah itu aku menjawabnya “kalau mood ku sudah baik,” begitu selalu jawabanku.


Jatuhnya setangkai bunga bugenfil menyadarkan aku, kini aku seorang diri duduk termenung diantara pot bugenfil didepan sekolahku, ku tatap arloji Rolex berlapis emas pemberian teman ayahku dari Swiss, jarum menunjukkan tepat pukul 4 sore, aku masih ingin menyusuri sekolah ini sekali lagi. Berlari-lari dengan segenap kenangan serta imajinasi yang setiap detik menggugah setiap memori untuk selalu mengenangnya, menyanjungnya atau menertawakannya. Semuanya terukir dalam suatu bait indah dan tersusun rapi dalam balutan irama sedih, sedu sedan atau suka, tawa canda bahagia.


Mulai tampak adik-adik kelasku yang kini kelas 9 bermain basket, hangatnya mentari membuat waktu tak terasa berjalan. Di bawah deretan pohon mahoni ku merebahkan diri, lagu kenangan terindah dari samsons mengalun di HP 3230 ku. Anganku mulai terbuai lagi, kenangan seolah berputar dalam memoriku. Karena lagu ini aku teringat tragedi pensi 5 tahun yang lalu saat aku masih kelas 7.


Pensi (pentas seni) akan diadakan di sekolahku 3 minggu lagi, hari ini anak-anak OSIS sibuk membuat proposal untuk mempersiapkan segalanya agar pensi berjalan dengan lancar. Hari ini aku memutuskan untuk menemui Salma, sejak pagi aku tidak melihatnya sama sekali, jadi apa mau dikata, rencana menemuinya harus aku urungkan.


Dentuman suara sound system menghentak telingaku, sinta, salah satu anggota OSIS mencoba mengecek volume sound. Acara dimulai pukul 7 malam, band-band lokal mulai menunjukkan aksinya, malam semakin larut dengan diiringi berjalannya acara, acara inti pun dimulai, SamSonS mulai melantunkan Hit-nya yang berjudul “Kenangan Terindah”. Aku mengajak Fahmi ke depan agar dapat dengan jelas melihat Bams Dkk, di tengah-tengah aku mengajaknya ke depan, aku melihat Salma mencari-cari seseorang, Fahmi menyapanya, Salma tak menjawab dia langsung menanyakan keberadaanku. Sebelum Fahmi selesai menjawab aku menarik tangan Salma.


Aku terus menarik tangan salma menuju belakang kelas, aku ingin membicarakan semuanya setelah apa saja yang terjadi antara aku dan dia. Aku tidak ingin berlarut-larut dalam masalah.


Di bawah sinar rembulan, aku duduk disampingnya, Salma terlihat mulai merasa tidak enak sebab aku terus diam disampingnya. Setelah ku rasa aku menemukan kata-kata yang tepat, aku berkata “Terima kasih setelah selama ini kamu memerhatikan aku, mencintai aku,mungkin dan tentu saja apapun yang pernah kamu beri kepadaku termasuk semangat. Kamu baik banget, terlalu baik buat aku malah. Aku yang gak baik buat kamu salma. kita tidak cocok maka kita harus berpisah.” Aku berdiri untuk berjalan meninggalkannya, tangannya meraih tanganku. Dingin. Lembab. Aku seolah merasakan semua keadaan perasaannya.


“aku gak tahu apakah aku bisa untuk jalani ini semua, aku gak mau maksain apa yang jadi kehendakku aja, kalau menurut kamu jalan ini yang harus kita lalui, akan aku coba, suatu saat kalau kamu ingin balik lagi lalu mencoba untuk kembali menuju jalanku, jalanku selalu terbuka buat kamu sar. Aku selalu mendoakan yang terbaik buat kamu.”


Aku tersenyum. Getir merayapi seluruh badanku seiring dengan mengalirnya aliran darah melalui pembulu-pembulu di seluruh tubuh. Aku berjalan lebih cepat untuk mendahuluinya. Aku tidak suka dengan perpisahan yang membawa duka atau aku harus melihatnya menangis, samar aku mendengar suara tangisan salma diantara suara gesekan daun-daun yang tertiup angin, aku mempercepat langkahku agar tidak terbawa suasana, tepat pada saat itu reff kenangan terindah terlantun :

Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu kan ku jadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku namun tak kan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupmu yang tlah terukir abadi sebagai kenangan yang terindah.

Masih terngiang isakan Salma di telingaku, aku mencoba untuk tidak terlalu memperdulikannya, aku kembali berjalan di antara kerumunan penonton pensi, Radit, teman sekelasku, menyapa, dia mengatakan bahwa Nita anak kelas 7-G sering bertanya-tanya tentang aku. Aku berterima kasih padanya telah memberi tahu, tapi aku tidak seberapa menghiraukannya. Aku mencoba menikmati lagu yang dibawakan samsons tapi arah pikiranku ke jalan yang lain.


Aku berpikir sejenak dengan semua yang terjadi barusan. Aku kembali ke tengah kerumunan untuk mencari Radit. Tidak sulit untuk menemukannya. Aku memintanya untuk memberitahuku dimana sekarang Nita berada, aku ingin mengalihkan laju pikiranku yang semakin terbawa suasana.


Radit menunjuk arah depan kelas 7-G sambil berkata agak berteriak di tengah dentuman sound system di samping telingaku, aku tidak mengerti apa yang dikatakannya tapi sedikit aku menangkap apa yang dimaksudkannya. Aku berjalan kearah yang ditunjuk radit. Semakin aku dekat ke arah yang ditunjukkannya semakin jelas sosok dua orang disana, disana terlihat dua wanita berdiri.


Aku mendekati keduanya. Radit menunjuk dua wanita didepanku ini namun aku tidak mengerti, mana yang dimaksudnya, aku melihat anak berbaju biru muda yang terlihat lebih cantik dan tinggi. Dalam hati aku menebak-nebak nita yang dimaksud radit tadi adalah dia. Aku menyapanya.


“Nita?? Kok malah disini?? Gak ikutan ke depan panggung pensi??”
“Eh.. Ehm iya, aku nita. Kok kamu tahu namaku?? Ya.. aku uda capek, tadi baru aja dari sana.”


Aku mengulurkan tangan mengajaknya berjabat tangan. kami bersalaman, ternyata benar, wanita berbaju biru muda itu adalah Nita, Yasnita Mia. Wanita disebelahnya aku ketahui namanya bela.


Aku mengajak Nita dan Bela untuk mendekati panggung, bela menolak, dia beralasan tidak boleh pulang terlalu malam. Samar aku melihat Nita melotot kearah Bela, Bela hanya tersenyum simpul sambil melirik kearahku. Aku menawarkan lagi ajakanku kali ini hanya pada Nita. Nita mengangguk meng-iyakan ajakanku.


Kami berjalan beriringan menuju ketengah kerumunan di depan panggung pensi. Sesaat setelah berbaur dalam kerumunan aku memegang tangannya agar dia tidak terpisah dari aku. Dingin. Aku merasa tangannya terlalu dingin untuk ukuran normal. Aku berpaling menghadapnya. Wajahku hanya terpaut beberapa sentimeter saja dari depan wajahnya.


“Kamu sakit?? Kok tangan kamu dingin banget.”
“Engga’ kok sar santai aja lagi, Cuma aku gak pernah aja tanganku digenggam erat banget kayak gini.” Nita mengatakannya sambil tersenyum melihat wajahku lalu berpaling ke tanganku, tanganku yang masih menggenggam tangannya.


Buru-buru aku melihat kearah tanganku yang tidak aku sadari memegang erat tangan nita. Seketika aku melepaskannya.


Nita tertawa terkekeh melihat tingkahku. Aku tersenyum sambil mencoba menjelaskan kalau aku tadi tidak ingin terpisah aja dengan nita ditengah kerumunan seperti ini. Pasti sulit buat nyari’innya. Aku berargumen.
Kami mulai fokus mendengarkan musik yang dilantunkan Bams, waktu itu bait naluri lelaki Samson mengalun dengan indah.

Aku adalah lelaki yang tak pernah lelah mencari wanita, aku..
Oohh… tolong dekati aku tolong jamahi aku…
Agar aku bahagia agar aku merasakan cinta…

Di tengah alunan musik, aku tidak pikir panjang untuk semua yang baru saja terjadi antara aku dan salma. Sekarang apa salahnya aku membuka lembaran baru kosong yang aku ingin mengisinya dengan warna-warna indah yang ditorehkan seseorang yang mungkin saja seseorang itu kini telah ada di depanku.


Meski benih-benih cinta belum tertanam didasar hatiku tapi aku berharap ada seseorang yang dapat mengisi segala kekurangan yang ada pada diriku dan aku juga dapat menghiasi hari-harinya dengan membuatnya tersenyum bahagia bersamaku. Entah terlalu cepat atau ini sebatas obsesiku lagi untuk bersanding dengan seorang wanita manis serta terkenal cerdas dan pandai membaca puisi. Dengan nita.


Aku ingin mengungkapkan keinginanku yang terbesit beberapa saat tadi dihatiku. Dengan segenap ketenangan yang tersisa aku hanya ingin sekedar mengatakan dan mengungkapkan apa yang aku rasakan serta aku inginkan.


Dalam diam untuk beberapa saat aku menghimpun segala keberanian dan mencoba merangkai kata-kata untuk mengungkapkan apa saja yang aku rasa dan semuanya yang terbesit dalam sudut hatiku.


Dalam rangkaian kata sederhana dan sarat makna aku mengalunkannya pelan di samping telinga nita. Terang saja dia kaget dan tak beranjak dari lamunan panjangnya. Matanya kosong menerawang kearah wajahku. Aku mulai berpikir lagi dengan apa saja yang baru aku ungkapkan. Lama nita bersemayam dalam dunia lamunannya hingga tanganku menyentuh wajah manisnya.


“Maaf aku tadi gak sadar sepenuhnya ngucapin semua kata-kata itu. Kamu lupain aja apa yang aku ungkapin tadi.” Dalam hati aku berharap dia tidak menuruti kata-kataku barusan.


Dia menggeleng dan setelahnya dia mengangguk sambil tersenyum malu. Entah apa maksudnya. Aku tidak dapat menangkap apa jawabannya dari semua yang dia lakukan itu.
“Iya, aku mau coba lengkapin kekuranganmu dan coba buat kamu bahagia.”


Nita tersenyum manis. Terlihat jelas kedua lesung pipit di kedua belah pipinya. Mulailah cerita tentang aku dan Nita mengalir setelah itu.
Kami menikmati setiap detik yang tersisa di malam itu dengan senyuman, bersenda gurau penuh khayalan.


Angin bertiup sepoi, bintang berpijar lebih terang, bulan tampak malu dengan menampakkan setengah tubuhnya, semuanya seolah memberi kesan merestui apa saja yang baru saja aku lakukan.


Fahmi tersenyum, setelah aku menceritakan semuanya, bulan-bulan ini kami sedang disibukkan dengan berbagai ulangan sebab kenaikan kelas sudah di depan mata.
Begitu cepat berlalunya sang waktu yang tak satu pun manusia berkuasa untuk memutarnya kembali meskipun satu detik, seperti layaknya anak panah yang telah dilepaskan dari busurnya, melaju tanpa henti dan tiada berhenti sampai tenaganya habis termakan masa.


Sabtu yang teduh, dibawah matahari yang tertutup awan, beberapa layang-layang terlihat memadati langit. Beberapa burung serta capung juga terlihat berhamburan mengisi ruang-ruang yang kosong pada langit.


Rapot telah dibagikan oleh Bu Ratna, wali kelasku. Aku harus tersenyum puas di peringkat kedua setelah Fahmi. Biasanya setiap setelah rapotan akan diadakan upacara untuk memberi penghargaan pada siswa yang termasuk peringkat 5 besar.